Tulisan ini dibuat setelah mengikuti acara Learning Series yang diadakan Puskapa UI 3 April 2017 lalu tentang hasil penelitian yang bertajuk Relokasi permanen pasca erupsi merapi 2010, tentang perubahan dan adaptasi dan dipaparkan oleh Dicky Pelupessy di auditorium Komunikasi FISIP UI dengan penelitian beliau selama tiga setengah bulan di kawasan relokasi hunian tetap Yogyakarta. Disamping itu saya padukan juga dengan pengalaman pribadi yaitu membandingkan relokasi yang sudah berlangsung pasca bencana longsor Banjarnegara dan Huntap Siosar erupsi Sinabung di Karo Sumatera Utara.
Penyampaian yang menarik karena dengan menampilkan foto gambar rumah warga sebelum mengungsi dan memperbandingkan dengan hamparan kompleks rumah Huntap lengkap dengan playground dan hydran air dan serta penegasan jarak rumah yang saling menempel satu sama lain mirip cluster perumahan pada umumnya. Terakhir dan tentunya konsep ilmiah yang digunakan untuk menganalisis yaitu antropologi (budaya).
Seperti diketahui bahwa konsep house dan home adalah berbeda. House lebih kepada aspek fisik, bagaimana bentuk rumah warga sebelum mengungsi pada umumnya di desa yaitu memiliki ladang/kebun atau lahan pertanian, memiliki stock kayu sengon (kayu bakar) untuk digunakan bahan bakar tungku memasak dan dari pengalaman warga desa bahwa kayu sengon dapat dijual bila membutuhkan uang. Sedangkan Home cenderung ke aspek sosial budaya yang ditunjukkan warga merapi seperti gunung batuk itu sudah biasa (living harmony with disaster) atau kedekatan dengan tetangga sangat kuat dengan aktivitas sosial bersama seperti ibu-ibu bila berkebun pergi ke ladang bersama-sama dan jika salahsatu ibu rumah tangga membutuhkan sayur, hanya tinggal iji ke kebun tetangga untuk memetik daun singkong, pepaya dan sejenisnya. Dari hal tersebut pemaknaan ruang (space) berkorelasi erat dengan makna tempat (place).
Sense of place, Connection to place
Kebijakan Relokasi berdampak serius kepada warga yang mau tidak mau mesti pindah ke lokasi baru terutama yang disediakan Pemerintah/swasta bila kemampuan ekonominya terbatas. Penilaian tempat relokasi yang menjadi simpulan penilaian terhadap pengungsi diatas yaitu aman namun tidak nyaman. Rumah yang berdekatan secara fisik namun pola perubahan interaksi antar penghuni justeru kian menjauh. Bagaimana tidak, pekerjaan yang pertama kali dan turun temurun dibidang pertanian dengan perubahan sebagian besar pemukin huntap relokasi kini menjadi buruh tambang pasir dan sebagian mengikuti program Pemerintah baru yaitu ternak lele. Ketika jelang maghrib rerata mereka baru pulang kerumah sehingga praktis intensitas komunikasi yang dilakukan yang dahulunya rutin setiap hari kini hanya di akhir pekan. Dan menarik yang saya dengar dari paparan pa Dicky bahwa playground yang sudah dibangun sebagai fasilitas sosial bagi anak, justeru dalam rentang selama penelitian tidak ditemui anak-anak yang memanfaatkan perosotan, jungkat jungkit, dan lainnya di taman yang berlokasi di tengah-tengah pemukiman relokasi tersebut.
Dalam hal ini adaptasi kultur terhadap sense of place/ connection to place bagi calon penghuni menjadi PR tiap pengambil kebijakan terhadap dampak sosial pembangunan Huntap Relokasi yang sering dilewatkan. Rasa memiliki tempat dan lingkungan baru sebagai ‘new home’ muncul dari makna (meaning) dan pengalaman bermakna (meaningful experience). Ini butuh jangka waktu yang sangat-sangat lama. Selain itu sistem keyakinan seperti alam memberikan makanan kepada makhluk hidup dan praktek agro-ekologis yang produktif (berladang) dan adaptif atau harmoni juga memunculkan sense of place/ connection to place. Terakhir adalah interaksi ekologis adaptif bukan sekedar pemenuhan kebutuhan hidup yang berpusat hanya pada diri sendiri (selfish) dan ini sangat berlaku di desa, mereka memiliki ritual sosial budaya dan merupakan komunitas kelompok petani.
Ruang untuk berkehidupan secara normal di lahan relokasi, selalu dan sudah dipikirkan serta menjadi prinsip pembangunan Huntap. Permasalahannya, bagaimana bila bidang pekerjaan itu berbeda, semisal sektor agraris menjadi buruh tambang dan atau peternak lele di Yogyakarta. Keberlanjutan hidup dan penghidupan (livelihood) di Huntap relokasi tidak semata melulu dipikirkan aspek pemenuhan kebutuhan dasar dan selesainya perpindahan fisik dari lokasi asal (longsor, rumah hancur akibat gempa, zona merah gunung aktif) namun livelihood juga mencakup aspek sosial. Alhamdulillahnya, bila di Siosar pengungsi pengungsi yang direlokasi mendapatkan jatah lahan pertanian 2 hektar tiap KK dan dibangun Jambur untuk fasilitas sosial atau berkumpul. (Masyekh-Pekerja Sosial)
Sumber : disini
Sumber berita : bpbd.kotimkab.go.id